Jalan Setapak
Ketika aku berjalan menyusuri jalan
setapak, kumelihat beberapa kejanggalan yang ada. Banyak yang kujumpai hal-hal
yang tak biasa kutemui pada biasanya.
Disana banyak kujumpai anak-anak yang dilantarkan oleh orang tuanya. Mereka
menjalani hidupnya dengan penuh penderitaan yang harus mencari nafkah sendiri.
Dengan peralatan yang sederhana, dia pergi mencari nafkah dengan memulung
sampah atau barang-barang bekas yang tidak terpakai dan masih memiliki nilai
jual. Hal itu dilakukannya setiap hari tanpa pandang lelah dan putus asa.
Mungkin, bagi yang belum pernah berkecimpung dengan dunia anak jalanan akan
merasa asing dengan mereka. Di umurnya yang masih kecil, sudah mampu untuk
mengatur pola kehidupannya sendiri
Disisi lain, kumelihat seorang
perempuan tua yang duduk di atas sebuah bangku bambu. Dipijatnya urat-urat kaki
yang menegang akibat rutinitasnya yang melelahkan. Kulit-kulitnya yang
berkeriput seakan berbicara tentang lelah yang ada di belakang gubuknya yang
rapuh dan lupuk. Matanya layu dan redup. Sepasang mata itu digendong kantung
mata kehitaman yang makin melebar. Sesekali, dikedipkan dalam-dalam, sebagai
cara untuk memperjelas apa yang menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja.
Matanya telah tua, setua perjalanan kepedihanya menjalani hidupnya. Sepasang
sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu saja di bawah bangku
bambunya. Sandal itu dihinggapi lubang di sana-sini. Tak hanya itu, sandalitu
pun dihinggapi bercak-bercak kecoklatan. Seperti darah yang mongering. Ya,
darah ! bahkan, di atas permukaan salah satu sandal itu masih terdapat darah
segar. Darah itu bermuncrat dari kakinya. Di kakinya masih terdapat serpih
pecahan kaca yang belum sempat di bersihkannya. Pecahan kaca yang tadinya
berada di gundukan sampah belakang rumahnya itu telah bercampur dengan darah
merah, darah yang terus menumpuk di atas sandal jepit merahnya.
Sungguh menyedihkannya pemandangan
yang kulihat di jalan setapak itu, sampah-sampah berserakan di mana-mana seakan
telah menjadi sahabat yang menemaninya sepanjag hari. Harus mencari nafkah
meskipun pekerjaannya itu mungkin tak layak untuk dinilai. Itupun dijalaninya
secara terpaksa demi mencari sesuap nasi untuk bisa tetap bertahan dalam
menjalani hidup ini yang keras. Cobaan dilewatinya setiap hari yang tak pandang
lelah dan putus asa.
Bagi saya, kegiatan yang saya alami
tidak lain sebagai bahan motivasi bagi teman-teman yang ingin menyisihkan
waktunya untuk memperhatikan keaadaan orang-orang yang kurang mampu di sekitar
kita. Cerita ini tiada lain juga sebagai upaya menggugah kita bahwa masih
banyak orang di negeri ini yang belum mendapatkan kelayakan untuk hidup, belum
mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depan. Setidaknya kita masih bisa
bersyukur atas semua pemberian dari Allah SWT. Mimpi-mimpi itulah yang selalu
menjadi motivasi untuk selalu bersemangat menjalani hidup meski dilihat beban
sesulit apapun.
Post a Comment
Jika ada hal yang membingungkan mengenai postingan di atas dapat anda tanyakan di kotak komentar di bawah ini....