Sejarah pemilihan umum di
Indonesia mulai pada awal Zaman revolusi. Rencana untuk mengadakan pemilihan
umum nasional sebenarnya sudah diumumkan pada 5 oktober 1945, dan pada tahun
1946 diadakan pemilihan umum di keresidenan Kediri dan Surakarta. Pada 1948
Badan Pekerja KNIP menyetujui undang-undang yang menetapkan sistim pimilihan
umum sidang langsung berdasarkan perwakilan proporsional dan memberikan hak
pilih kepada seluruh warga Negara yang berusia diatas 18 Setelah perdebatan
dalam dewan keamana PBB yang diadakan menyusul Agresi Militer Belanda II
terhadap republik Indonesia pada desember 1948, ada tanda-tanda pada mulanya
pengakuan kedaulatan penuh akan diperoleh Indonesia melalui pemilihan umum yang
diawasi PBB.
Penyelesaian ini terpotong dengan
munculnya “jalan baru”, rangkaian perundingan langsung antara Indonesia dan Belanda
yang berujung pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Hang. Berdasarkan jasil
KMB itulah Indonesia menjadi Negara Berdaulat penuh pada 27 desember 1949.
Pembentukan Negara federal
Republik Indonesia Serikat (RIS) Pada tahun 1950 menurut ketentuan perjanjian
Den Haang, akan diresmikan oleh suatu badan Konstituante hasil pemilihan umum.
Namun itu tidak dilakukan karena terhambat oleh pemilihan umum yang lamban.
Sejak 1950, janji-janji mengenai pemilihan umum nasional sudah sering
dikemukakan oleh berbagai kabinet, akan tetapi langkah-langkah nyata ke arah
itu selalu terhambat oleh gabungan berbagai faktor antara lain timbulnya urusan
pemerintahan yang lebih mendesak dan gerakan menentang pemilihan umum yang
dilancarkan oleh sejumlah partai serta kelompok-kelompok anggota parlemen
sementara.
Pemilihan umum diselenggarakan
pada 1951 dan awal 1952 di Sulawesi (Minahasan, Sangir Talaud, dan Kotapraja
Makassar), serta di daerah istimewa Yokyakarta. Dari pemilihan ini pemerintah
memperoleh banyak pengalaman mengenai masalah-masalah penyelenggaraan pemilihan
umum. Akan tetapi, rencana untuk mengadakan pemilhan umum Nasional berjalan
sangat lambat. Bahkan selama delapan belas bulan rancangan undang-undang
pemilihan umum hanya merupakan permainan
atau pertarungan peralih kekuasaan antara kabinet dengan parlemen.
Pada tanggal 17 Oktober 1952
terjadi sebuah peristiwa yang membuat pemilihan umum menjadi persoalan politik
yang terpenting. Pada saat itu sekelompok besar perwira tinggi angkatan darat,
yang didukung oleh demonstrasi politik hasil rekayasa tentara, gagal mendesak
presiden untuk membubarkan parlemen sementara. Maka dimulailah pertarungan
kekuasaan yang berlangsung lama antara golongan-golongan tertentu dalam
pimpinan angkatan darat dan presiden. Konflik ini dikuatirkan akan menimbulkan
perpecahan dalam tubuh angkatan darat sendiri yang akan memicu perang saudara.
Krisis tersebut meningkatkan
pertentangan terhadap parlemen sementara yang sudah beberapa lama menjadi
sasaran utama kekecewaan umum yang samar-samar terhadap hasil kemerdekaan yang
baru di capai. Secara khusus, kekecawaan ini menyangkut kehidupan politik yang
terus tidak stabil sesudah revolusi dan menyangkut hasil tidak seberapa yang
dicapai oleh tiga kabinet pertama berumur pendek di zaman baru itu.
Kabinet yang berkuasa saat itu,
yaitu koalisa antara PNI-Masyui-Sosialis yang di ketuai oleh Wilopo dari PNI,
sebenarnya sudah lumpuh karena timbulnya berbagai kericuhan di parlemen dan di
luar parlemen yang berlanjut selama berbulan-bulan setelah peristiwa 17
oktober. Tetapi kedua belah pihak dalam konflik ini, yaitu yang mengutuk
peristiwa 17 Oktober dan yang menyokongnya, ditantang untuk menyatakan dukungan
pada penyelenggaraan pemilihan umum secepat mungkin. kabinet menjalankan
kebijakan ganda untuk menghadapi situasi itu.
1. Segala upaya di tempuh untuk menemukan
kompromi dalam penyelesaian masalah angkatan darat.
2. Mendesak
untuk mengadakan pemilihan umum secepat mngkin sebagai penyelesaian jangka
panjang.
Maka pada November 1952 kabinet
Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru, dengan dukungan
berbagai kalangan yang vokal secara politis. Rancangan tersebut kemudian diubah
menjadi undang-undang empat setengah bulan kemudian. Undang-undang baru
tersebut menetapkan pemilihan umum yang langsung.
Belajar dari pengalaman pemilihan
umum Yokyakarta, dan pemilihan umum India pada 1951-1952, kabinet Wilopo
memutuskan mengubah kebijakan pemilihan umum kabinet-kabinet sebelumnya yang
menggunakan metode pemilihan tidak langsung. Selain itu juga akan diadakan dua
kali pemilihan umum.
Gagasan awal adalah bahwa suatu
badan pekerja parlemen akan dibentuk oleh suatu Majelis Konstituante hasil
pemilihan umum. Akan tetapi, karna berbagai alasan politis dan konstitusional
yang rumit, maka gagasan awal tersebut ditinggalkan demi terlaksananya
pemilihan umum untuk dua badan yang berbeda, yaitu Parlemen dan Majelis
Konstituante. Undang-undang pemilihan umum ini membagi Indonesia menjadi 16
daerah pemilihan, salah satu di antaranya adalah Irian Barat. Setiap daerah
pemilihan mendapat sejulah kursi berdasarkan jumlah penduduknya, dengan
ketentuan setiap daerah berhak memperoeh jatah minimum enam kursi di
konstituante dan tiga di Parlemen. Disetiap daerah pemilihan, kursi di berikan
kepada partai-partai dan calon-calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara
yang mereka peroleh.
Sisa suara bisa di gabungkan,
baik antara berbagai partai di dalam suatu daerah pemilihan (kalau partai yang
bersangkutan telah menyatakan sepakat untuk menggabungkan sisa suara), maupun
di gabungkan untuk satu partai di tingkat nasional. Organisasi penyelenggaraan
pemilihan umum menjadi tanggung jawab bersama Kementerian Kehakiman dan
Kementerian Dalam Negeri, tetapi kekuasaan besar diberikan kepada Panitia
Pemilihan Indonesia yang multi partai yang dipercayakan untuk mengorganisir dan
membuat peratuan mengenai pemilihan.
Panitia-panitia pemilihan umum
multi partai juga berfungsi di tingkat lokal, yaitu di tingkat kabupaten dan
kecamatan. Tetapi di tingkat kabupaten dan kecamatan terdapat hubungan kerja
dengan jajaran pamong praja, baik dengan pemerintahan umum sebagai bagian dari
Kementerian Dalam Negeri, maupun dengan Bupati yang menjadi ketua panitia
pemilihan kabupaten dan camat yang menjadi ketua panitia pemungutan suara
kecamatan. Di bawah kecamatan ada panitia pendaftaran pemilihan yang di ketuai
oleh kepala desa dan panitia penyelenggara pemungutan suara. Keduanya juga
berangotakan wakil-wakil partai politik. Partai, Organisasi, perkumpulan
pemilihan, dan perorangan berhak mengajukan diri sebagai calon anggota Parlemen
dan Konstituante, tetapi setiap calon harus di dukung dengan tanda tangan
pemilih yang terdaftar, 200 tanda tangan untuk calon pertama dalam suatu daftar
dan 25 untuk setiap calon lainnya. Tidak ada larangan untuk anggota panitia
pemilihan untuk menjadi calon.
Setiap organisasi yang mengajukan
calon harus menyerahkan tanda gambar. Yang buta huruf akan memberikan suara
dengan menusuk dalam segi empat yang mengapit tanda gambar pilihannya pada kertas
suara. Yang bisa baca-tulis bebas melakukan hal ini atau menuliskan diatas
kertas suara nama calon yang di pilihnyadari daftar calon.
Pemungutan suara dilakukan di
tempat pemungutan suara. Baik pada tahap pemungutan suara, maupun pada tahap
perhitungan suara yang segera dilakukan setelah pemungutan suara, anggota
masyarakat berhak menyampaikan protes lisan atas tindakan panitia pemungutan
suara. Panitia wajib segera mengambil keputusan mengenai protes ini. Pengawasan
oleh masyarakat umum dan sifat panitia yang multi-partai diharapkan akan dapat
mencegah terjadinya kecurangan di tempat pemungutan suara.
Sistem pemilihan umum yang
ditetapkan dengan undang-undang 1953 itu banyak dikritik sebagai perfeksionis
dalam hal demokrasi, terlalu rumit, dan karna itu lamban dan mahal.
Pemilihan pada tahun 1955 adalah
pemilihan yang pertama kali dilaksanakan secara nasional di Indonesia. Pemilu
dilaksanakan dalam dua priode, Periode pertama pada tanggal 29 September 1955
untuk memilih anggota DPR dan priode kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk
memilih anggota konstituante. Sekali pun baru pertama kali, dalam pemilihan
umum nasional ini hak pilih diberikan kepada seluruh warga Negara Indonesia
yang berusia diatas usia 18 tahun atau sudah kawin. Karna belum adanya lembaga
pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggung
jawab bersama pemerintah dan panitia-panitia yang beranggotakan wakil partai.
Di tingkat desa dan yang lebih rendah lagi, pemungutan suara dipercayakan juga
kepada panitia-panitia, yang sebagian anggotanya sering masih buta huruf.
Post a Comment
Jika ada hal yang membingungkan mengenai postingan di atas dapat anda tanyakan di kotak komentar di bawah ini....