Sebagaimana halnya daerah-daerah di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil, rasanya kurang lengkap bila tidak membahas salah satu kerajaan tertua yaitu Kerajaan Wajo. Pada masa jayanya, Kerajaan Wajo meliputi beberapa wilayah seperti Kabupaten Sidrap, Bone dan Soppeng serta seluruh wilayah Kabupaten Wajo saat ini. Menurut beberapa sumber, Wajo dibentuk sekitar tahun 1300-an oleh tiga pemimpin negeri, yaitu Bentengpola, Talok Tenreng dan Tuwa.
Ketiga pemimpin negeri yang masing-masing disebut Arung ini sepakat membentuk kerajaan bersama yang Dipimpin oleh seorang Arung Matowa. Tahun 1948 adalah tahun berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, ketika pemerintah Republik Indonesia menghapuskan kekuasaan raja di daerah. Reruntuhan kerajaan yang nyaris tak berbekas seolah tak mampu mengungkap kebesarannya. Bahkan kini hanya tersisa satu komunitas pewaris Kerajaan Wajo, yaitu keluarga atau Rumpung Bentengpola. Rumpung Bentengpola merupakan komunitas yang menjadi pilar utama Kerajaan Wajo.
Sumber lain menyatakan bahwa Kerajaan Wajo didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya wajo. Yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora.
Selanjutnya beliau bertemu dengan putra Arumpone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Dimana posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
Masa keemasan Wajo dicapai di pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Wajo memeluk islam secara resmi ditahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman.
Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal disana Wajo terlibat perang Makassar 1660-1669 disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bongayya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang.
Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi didaerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Raja Wajo, yang disebut sebagai Arung Matowa bukan merupakan jabatan yang turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo dan diangkat oleh perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Siapa sangka, kerajaan yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem demokrasi yang modern. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga bagi masyarakat kini.
Sejak dahulu kerajaan wajo tidak seperti halnya dengan kerajaan yang ada di sulawesi maupun yang ada di nusantara ini. Kerajaan wajo bukanlah milik kalangan tertentu atau bangsawan saja yang diwariskan secara turun temurun. Kerajaan wajo merupakan kerajaan bersama pemerintah dengan rakyat. Seorang raja diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui hasil keputusan rapat pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e (dewan adat beranggotakan 40 orang). Jadi sejak dahulu di wajo telah dibentuk anggota dewan sama seperti yang ada di indonesia sekarang.
Seorang Raja/Arung yang diangkat harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan harus menghargai kebebasan atau kemerdekaan setiap individu yang ada di wajo. Di wajo ditanamkan sikap kemerdekaan yang tinggi, setiap raja harus menanamkan bahwa ”To Wajo’e Ri Laleng Tampu Mopi Na Maradeka” artinya “setiap orang wajo itu masih sejak di dalam kandungan dia sudah merdeka” jadi tidak satupun yang boleh merampas kebebasan tersebut sekalipun itu seorang raja.
Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948, adalah wilayah yang kemudian disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan masyarakat Wajo sejak masa kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan, sampai sekarang masih menjadi andalan mereka.
Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena kesediaan masyarakat Bugis waktu itu menghargai keberadaan para Arung atau raja. Para Arung atau raja adalah pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka. Pada masa kini, sebuah simbol barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya, untuk menyatukan masyarakat dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup bermasyarakat.
Konsep kemerdekaan dari para raja dan cendekia Wajo:
Latenri Bali, Batara Wajo 1
“Maradeka to wajoe taro pasoro gau’na, naisseng alena, ade’na napopuang”
Artinya: “Merdeka orang wajo, bertanggungjawab, tahu diri, hanya adatlah yang menjadi hukum penentu”
Adek amaradekangenna to Wajoe (Perjanjian Kemerdekaan Orang Wajo)
“Napoalebbirenggi to wajoe maradeka, malempu, namapaccing rigau salae, mareso mappalaong, namaparekki riwarangparangna”
Artinya : “orang wajo lebih memilih merdeka, jujur, menghindari perbuatan tercela, ulet dan hemat”
Puang Ri Maggalatung, batara wajo IV
“Maradeka to wajoe najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tau makketanae maradekamaneng, rilaleng tampumupi namaradeka napoada adanna, napogau gauna ade’ assimaturusengmi napapoang”
Artinya: “Merdeka orang wajo, lahir dengan merdeka, tanah yang jadi bawahan, setiap orang yang hidup di wajo merdeka semua, bebas berpendapat, bebas bekerja, hanya kata sepakat yang jadi pedoman hukum.
Demikianlah kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani sifat para raja wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu mengikuti keinginan rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji manis. Raja wajo adalah orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan, sayang dengan rakyat, jujur, ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas berpendapat tetapi menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung.
Marilah kita lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun, menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti ucapan salah satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan budaya ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan menjadi ”MARADEKA TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG” (merdeka orang wajo, rasa malunya tinggi tapi cuma diam, andi (bangsawan) saja yang di tonjolkan/ diabdikan/ dijunjung/ disanjung/ dihormati).
Jadi jika ingin belajar tentan demokrasi tidak perlu jauh-jauh ke Luar Negeri, cukup membuka dan mempelajari sejarah dan catatan peninggalan masa lampau seperti dari Kerajaan Wajo.
Berikut kami tuliskan daftar raja-raja wajo. Daftar ini tidak dijamin kevalidannya, namun mudah-mudahan dapat menjadi salah satu referensi.
1. La Palewo to Palippu (±1474-1481)
2. La Obbi Settiriware (±1481-1486)
3. La Tenriumpu to Langi (±1486-1491)
4. La Tadampare Puangrimaggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
5. La Tenri Pakado To Nampe (±1524-1535)
6. La Temmassonge (±1535-1538).
7. La Warani To Temmagiang (±1538-1547).
8. La Malagenni (±1547)
9. La Mappauli To Appamadeng (±1547-1564)
10. La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
11. La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
12. La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
13. La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
14. La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
15. La Pakallongi To Alinrungi (±1621-1626)
16. To Mappassaungnge (±1627-1628).
17. La Pakallongi To Alinrungi (1628-1636),
18. La Tenri lai to Udamang (1636-1639)
19. Isigajang To Bunne (±1639-1643),
20. La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648).
21. La Temmasonge (±1648-1651)
22. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
23. La Tenri Lai To Sengngeng (±1658-1670)
24. La Palili To Malu’ (±1670-1679)
25. La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699),
26. La Tenri Sessu (±1699-1702)
27. La Mattone’ (±1702-1703)
28. La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
29. La Tenri Werung (±1712-1715)
30. La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
31. La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754)
32. La Mad’danaca (±1754-1755)
33. La Passaung (±1758-1761)
34. La Mappajung puanna salowo (1761-1767)
35. La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
36. La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
37. La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
38. La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
39. La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
40. La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
41. La Koro (±1885-1891)
42. La Patongai Datu Lompulle
Post a Comment
Jika ada hal yang membingungkan mengenai postingan di atas dapat anda tanyakan di kotak komentar di bawah ini....