A.   Pendahuluan
Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum Muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”. Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir Muslim, baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”. Namun sepeninggal Nabi yang wafat pada tahun 632 M pemikiran politik Islam tidak pernah lepas diwarnai oleh perdebatan tentang sistem pemerintah, khususnya mengenai hubungan khalifah dan Negara.
Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum Muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”. Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir Muslim, baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”. Namun sepeninggal Nabi yang wafat pada tahun 632 M pemikiran politik Islam tidak pernah lepas diwarnai oleh perdebatan tentang sistem pemerintah, khususnya mengenai hubungan khalifah dan Negara.
Setelah lebih dari 10 abad lamanya
Islam berkuasa, pada akhirnya Dinasti Utsmani, yang berpusat di Turki setelah
sempat menjadi dinasti paling terkemuka, namun kemudian mengalami kemunduran
dan dibubarkan pada 1924. Maka dinasti ini merupakan pemerintaahan Islam yang
terakhir. Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat.
Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka
antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganut paham
pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir Muslim
ini menawarkan pemikiran modernism. Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan
reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Mereka menginginkan kembali
kehidupan masyarakat Muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau
setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka
mengingankan tidak adanya pemisahan agama dan politik.
B. Sejarah Politik Pemerintahan Islam
Dengan dirumuskannya Piagam Madinah
oleh Nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah ke Madinah, sebenarnya ini
merupakan tonggak utama lahirnya pemerintahan Islam. Menurut Harun Nasution,
Piagam Madinah tersebut mengandung aturan pokok tata kehidupan bersama di
Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan
hidup ini dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri. Kesepakatan contract
social inilah yang menjadi dokumen konstitusi bagi lahirnya negara
yang berdaulat. Dengan demikian, di Madinah nabi Muhammad bukan hanya mengemban
tugas-tugas keagamaan sebagai Rasulullah sekaligus sebagai kepala Negara.
Piagam Madinah ini merupakan embrio
terlahirnya praktek politik dalam islam. Ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada
tahun 632 M. Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak
meninggalkan wasiat maupun arahan tentang figur atau siapa pengganti beliau.
Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan oleh Nabi. Maka masyarakat di
Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara
sepeninggal beliau. Maka sejak saat itulah mulai muncul benih-benih politik
yang tidak bisa dielakkan oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan berikutnya, yang
dijalankan oleh para sahabat yang empat, yang dikenal dengan sebutan Khulafah
al-Rasyidin. Kenyataan praktek perpolitikan semasa pemerintahan dipegang para
sahabat ini pada masa-masa awal belum seberapa muncul, namun kenyataan ini semakin
tampil nyata pada masa-masa akhir Khulafah al-Rasyidin, sehingga timbul beberapa
mazhab politik.
1.  Politik Pemerintahan
Khulafa Al-rasyidin
Istilah kekhalifahan dalam bentuk
pemerintahan berawal dari Khalifah al-Rasyidin. Khalifah al-Rasyidin sendiri
berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda
pemerintahan, dari Abu  Bakar  Ash-Shidiq,  Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan,  Ali  bin Abu Thalib. Kekhalifahan al-Rasyidin
 memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah.  Periode
kekhalifahan  pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan
  pujian  yang  sangat  mendalam dalam sejarah,
sehingga  kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-rasyidin. 
Namun demikian, pada masa Khulafah
al-Rasyidin ini tidak terlepas dari krisis. Krisis yang terjadi bukan merupakan
krisis kepribadian diantara keempat Khulafah al-Rasyidin, melainkan krisis
otoritas yang sah. Masalah yang diperdebatkan bukanlah siapa, melainkan
bagaimana memilih seorang pengganti nabi dan menetapkan cakupan dan kewenangannya.
Jadi, pada masa awal sejarah Islam terjadi krisis politik bukan krisis
keagamaan, seperti kemelut institusional yang dialami kaum Muslim pada periode
awal politik islam.
Pergulatan   pemikiran
 politik  Islam  juga   cukup menonjol  dalam
 mensikapi pemerintahan Umar  bin Khattab yang  sangat
 tegas tetapi demokratis.  Banyak  kebijakan-kebijakan
 politik  Umar bin Khattab yang  berbeda  dengan kebijakan
 Nabi, semisal dalam persoalan  pembagian  harta rampasan perang.
Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan? Umar bin Khattab juga
seorang pemimpin  yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan,
hal  ini tercemin dalam  sikap  Umar  ketika
  dilantik menjadi Khalifah.  Ia mengangkat  pedang
 tinggi,  untuk  membela Islam,  jika  ia tidak
 selaras  dengan Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya
dengan pedang pula.
Demikian  juga  dalam
 masa  pemerintahan   Khalifah Utsman,   pemikiran
 politik tentang   koalisi, aliansi tampaknya  sangat
menonjol. Posisi usia Utsman yang  sudah cukup tua, yang kemudian
dimanfaatkan oleh kerabat  dekat Utsman  untuk  mempengaruhi
 roda pemerintahan. Dimana kemudian ditandai dengan kondisi nepotisme
dalam pemerintahan Utsman.
 Kondisi yang paling menegangkan, sehingga
menimbulkan banyak pola pemikiran politik adalah  ketika Ali  bin
 Abu  Thalib diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik  berkepanjangan
berkaitan  dengan pembunuhan  Utsman,  menjadikan
  sebab timbulnya  perang  saudara di sesama Muslim.
 Bahkan  istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang
 melawan Ali dalam perang Jamal. Yang mana dikemudian  hari menjadi
 diskursus  panjang  tentang boleh  tidak  wanita
menjadi  pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah  kemudian, perbedaan
kepentingan   aqidah  dipolitisir  lebih   jauh
menjadi sebuah kepentingan politik.
2. Politik Pemerintahan Islam
Pasca Khulafah Al-Rasyidin
Kekhalifahan pasca Khulafa al-Rasyidin
diawali sejak terjadinya kekacauan politik antara Ali bin Abi Thalib yang
memegang pemarintahan sah pada waktu itu, dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, yang
pada akhirnya berhasil menggusur pemerintahan Ali. Dalam situasi perpolitikan
yang kacau balau, hingga mendorong lahirnya beberapa Madzhab politik tersebut,
bahkan sampai mengakibatkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Kematian   Ali  bin
 Abi  Thalib   memungkinkan Mu'wiyyah  untuk
 menampilkan  diri, apalagi   dengan terbunuhnya  anak
Ali, Husein bin Ali, dalam  perang di padang  Karbala, menjadikan posisi
  Mu'awiyyah semakin kuat. Hal pertama yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyyah
adalah melakukan perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal
yang tak kalah pentingnya, Mu’awiyyah mengadopsi sistem pemerintahan Romawi
maupun Persia untuk mendukung Pemerintahannya. Jika dalam masalah
pengangkatan pemimpin, dilakukan oleh  Majlis  Syuro yang  akan
memilih dari beberapa orang yang telah ditunjuk
oleh khalifah sebelumnya, Muawiyyah memperkenalkan pemaknaan baru.
Pemaknaan penunjukkan ini dilakukan langsung oleh Mu'awiyyah kepada putranya,
dan Majlis Syuro dibuat untuk melegalisasikan. Sehingga pada masa
pemerintahan Mu'awiyyah lebih menampilkan  pemerintahan dinasti
dibandingkan dengan khalifah. Bai'ah  sebagai sarana penerimaan
 kepada Khalifah juga dilakukan revisi,  di mana bai'ah dilakukan
oleh Ahlu
al-hal wa al-aqdi  yang ditunjuk  oleh Mu'awiyyah
 sendiri  untuk membai'ah putranya,   tidak harus secara
langsung   rakyat membai'ah. Dalam batasan hadis yang diriwayatkan
 Imam Ahmad, masa kekhalifahan Ummayah dikenal dengan periode kekhalifahan
yang sombing.
Sehingga  dalam masa pemerintahan
 kekhalifahan kedua  ini,  sejarah menyebutnya dengan Kekhalifahan
Ummayah (Keluarga Ummayah). Masa kekhalifahan Ummayah berjalan cukup lama,
sekitar 90 tahun. Hal yang cukup monumental  selama khilafah Ummayah
adalah dalam hal perluasan wilayah dari Asia Selatan  sampai
 Spanyol, mulai  diperkenalkannya sistem mata  uang,
 penggajian pegawai, diperkenalkannya Qadhi (hakim khusus) sebagai bidang
yang tersendiri yang tidak di  bawah kendali langsung khalifah.
Setelah runtuhnya kekhalifahan Ummayah
 diganti dengan    kekhalifahan
   Abbasiyyah. Kekhalifahan Abbas-siyyah  didirikan
 oleh Abdullah bin  Saffah  ibnu Muhammad ibnu   Ali
ibnu   Abdullah   bin Abbas. Pemerintahan khilafah
Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang paling lama mencapai 588 tahun. 
Abdullah bin Saffah dalam membangun memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah Abasiyyah juga melestarikan pola pemerintahan dan suksesi pemerintahan seperti kekhalifahan Ummayah, demikian pula dengan melakukan perlebaran kekuasaan. Khilafah Abbasiyyah juga memperkenalkan depatermen baru yang dikenal dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak
Abdullah bin Saffah dalam membangun memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah Abasiyyah juga melestarikan pola pemerintahan dan suksesi pemerintahan seperti kekhalifahan Ummayah, demikian pula dengan melakukan perlebaran kekuasaan. Khilafah Abbasiyyah juga memperkenalkan depatermen baru yang dikenal dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak
Hal  yang menarik dalam
kekhalifahan  Abbasiyah adalah interprestasi tentang khalifah sebagai: Innama anaa
sulthaan Allah fi ardhlihi  (Sesungguhnya  saya adalah
kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Di mana membuka terminologi baru, bahwa
kekhalifahan bukanlah  sebagai pengganti  nabi,  bukan
 mandat dari manusia  tetapi merupakan mandat dari Alloh. Penafsiran
baru ini dilakukan semasa khalifah al-Makmun. Sama dengan pemerintahan
sebelumnya, pada masa Abbsiyah pemerintahan juga sangat jauh dari yang
dilakukan pada masa rasulullah, pemimpin sering kali berpoya-poya tanpa
memikirkan masyarakatnya. 
3. Politik Pemerintahan Islam Kontemporer
Pada era kontemporer ini, islam
tengah mengalami degradasi sistem pemerintahan dan kepemimpinan. Hingga saat
ini ada dua sistem pemerintahan yang mendominasi Negara-negara islam, kerajaan
dan republik. Dari kedua sistem pemerintahan ini dan pada prakteknya, keduanya
tidak mengacu pada apa yang telah dilakukan Rasulullah pada masanya.   

 
 
 
 

Post a Comment
Jika ada hal yang membingungkan mengenai postingan di atas dapat anda tanyakan di kotak komentar di bawah ini....