Selamat Datang

Contoh Makalah Politik Pemerintahan Islam (sejarah dan perkembangan)

0 komentar


A.   Pendahuluan
Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.

Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum Muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”. Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir Muslim, baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”. Namun sepeninggal Nabi yang wafat pada tahun 632 M pemikiran politik Islam tidak pernah lepas diwarnai oleh perdebatan tentang sistem pemerintah,  khususnya mengenai hubungan khalifah dan Negara.
Setelah lebih dari 10 abad lamanya Islam berkuasa, pada akhirnya Dinasti Utsmani, yang berpusat di Turki setelah sempat menjadi dinasti paling terkemuka, namun kemudian mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924. Maka dinasti ini merupakan pemerintaahan Islam yang terakhir. Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir Muslim ini menawarkan pemikiran modernism. Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Mereka menginginkan kembali kehidupan masyarakat Muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka mengingankan tidak adanya pemisahan agama dan politik.

B.  Sejarah Politik Pemerintahan Islam  
Dengan dirumuskannya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah ke Madinah, sebenarnya ini merupakan tonggak utama lahirnya pemerintahan Islam. Menurut Harun Nasution, Piagam Madinah tersebut mengandung aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup ini dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri. Kesepakatan contract social inilah yang menjadi dokumen konstitusi bagi lahirnya negara yang berdaulat. Dengan demikian, di Madinah nabi Muhammad bukan hanya mengemban tugas-tugas keagamaan sebagai Rasulullah sekaligus sebagai kepala Negara.
Piagam Madinah ini merupakan embrio terlahirnya praktek politik dalam islam. Ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M. Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak meninggalkan wasiat maupun arahan tentang figur atau siapa pengganti beliau. Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan oleh Nabi. Maka masyarakat di Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara sepeninggal beliau. Maka sejak saat itulah mulai muncul benih-benih politik yang tidak bisa dielakkan oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan berikutnya, yang dijalankan oleh para sahabat yang empat, yang dikenal dengan sebutan Khulafah al-Rasyidin. Kenyataan praktek perpolitikan semasa pemerintahan dipegang para sahabat ini pada masa-masa awal belum seberapa muncul, namun kenyataan ini semakin tampil nyata pada masa-masa akhir Khulafah al-Rasyidin, sehingga timbul beberapa mazhab politik.
1.  Politik Pemerintahan Khulafa Al-rasyidin
Istilah kekhalifahan dalam bentuk pemerintahan berawal dari Khalifah al-Rasyidin. Khalifah al-Rasyidin sendiri berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda pemerintahan, dari Abu  Bakar  Ash-Shidiq,  Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,  Ali  bin Abu Thalib. Kekhalifahan al-Rasyidin  memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah.  Periode kekhalifahan  pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan   pujian  yang  sangat  mendalam dalam sejarah, sehingga  kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-rasyidin.
Namun demikian, pada masa Khulafah al-Rasyidin ini tidak terlepas dari krisis. Krisis yang terjadi bukan merupakan krisis kepribadian diantara keempat Khulafah al-Rasyidin, melainkan krisis otoritas yang sah. Masalah yang diperdebatkan bukanlah siapa, melainkan bagaimana memilih seorang pengganti nabi dan menetapkan cakupan dan kewenangannya. Jadi, pada masa awal sejarah Islam terjadi krisis politik bukan krisis keagamaan, seperti kemelut institusional yang dialami kaum Muslim pada periode awal politik islam.
Pergulatan   pemikiran  politik  Islam  juga   cukup menonjol  dalam  mensikapi pemerintahan Umar  bin Khattab yang  sangat  tegas tetapi demokratis.  Banyak  kebijakan-kebijakan  politik  Umar bin Khattab yang  berbeda  dengan kebijakan  Nabi, semisal dalam persoalan  pembagian  harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin  yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan, hal  ini tercemin dalam  sikap  Umar  ketika   dilantik menjadi Khalifah.  Ia mengangkat  pedang  tinggi,  untuk  membela Islam,  jika  ia tidak  selaras  dengan Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan pedang pula.
Demikian  juga  dalam  masa  pemerintahan   Khalifah Utsman,   pemikiran  politik tentang   koalisi, aliansi tampaknya  sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang  sudah cukup tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat  dekat Utsman  untuk  mempengaruhi  roda pemerintahan. Dimana kemudian ditandai dengan kondisi nepotisme dalam pemerintahan Utsman.
 Kondisi yang paling menegangkan, sehingga menimbulkan banyak pola pemikiran politik adalah  ketika Ali  bin  Abu  Thalib diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik  berkepanjangan berkaitan  dengan pembunuhan  Utsman,  menjadikan   sebab timbulnya  perang  saudara di sesama Muslim.  Bahkan  istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang  melawan Ali dalam perang Jamal. Yang mana dikemudian  hari menjadi  diskursus  panjang  tentang boleh  tidak  wanita menjadi  pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah  kemudian, perbedaan kepentingan   aqidah  dipolitisir  lebih   jauh menjadi sebuah kepentingan politik.
2. Politik Pemerintahan Islam Pasca Khulafah Al-Rasyidin
Kekhalifahan pasca Khulafa al-Rasyidin diawali sejak terjadinya kekacauan politik antara Ali bin Abi Thalib yang memegang pemarintahan sah pada waktu itu, dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, yang pada akhirnya berhasil menggusur pemerintahan Ali. Dalam situasi perpolitikan yang kacau balau, hingga mendorong lahirnya beberapa Madzhab politik tersebut, bahkan sampai mengakibatkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Kematian   Ali  bin  Abi  Thalib   memungkinkan Mu'wiyyah  untuk  menampilkan  diri, apalagi   dengan terbunuhnya  anak Ali, Husein bin Ali, dalam  perang di padang  Karbala, menjadikan posisi   Mu'awiyyah semakin kuat. Hal pertama yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyyah adalah melakukan perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal yang tak kalah pentingnya, Mu’awiyyah mengadopsi sistem pemerintahan Romawi maupun Persia untuk mendukung Pemerintahannya. Jika dalam masalah pengangkatan pemimpin, dilakukan oleh  Majlis  Syuro yang  akan memilih dari beberapa orang yang telah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, Muawiyyah memperkenalkan pemaknaan baru. Pemaknaan penunjukkan ini dilakukan langsung oleh Mu'awiyyah kepada putranya, dan Majlis Syuro dibuat untuk melegalisasikan. Sehingga pada masa pemerintahan Mu'awiyyah lebih menampilkan  pemerintahan dinasti dibandingkan dengan khalifah. Bai'ah  sebagai sarana penerimaan  kepada Khalifah juga dilakukan revisi,  di mana bai'ah dilakukan oleh Ahlu al-hal wa al-aqdi  yang ditunjuk  oleh Mu'awiyyah  sendiri  untuk membai'ah putranya,   tidak harus secara langsung   rakyat membai'ah. Dalam batasan hadis yang diriwayatkan  Imam Ahmad, masa kekhalifahan Ummayah dikenal dengan periode kekhalifahan yang sombing.
Sehingga  dalam masa pemerintahan  kekhalifahan kedua  ini,  sejarah menyebutnya dengan Kekhalifahan Ummayah (Keluarga Ummayah). Masa kekhalifahan Ummayah berjalan cukup lama, sekitar 90 tahun. Hal yang cukup monumental  selama khilafah Ummayah adalah dalam hal perluasan wilayah dari Asia Selatan  sampai  Spanyol, mulai  diperkenalkannya sistem mata  uang,  penggajian pegawai, diperkenalkannya Qadhi (hakim khusus) sebagai bidang yang tersendiri yang tidak di  bawah kendali langsung khalifah.
Setelah runtuhnya kekhalifahan Ummayah  diganti dengan    kekhalifahan    Abbasiyyah. Kekhalifahan Abbas-siyyah  didirikan  oleh Abdullah bin  Saffah  ibnu Muhammad ibnu   Ali ibnu   Abdullah   bin Abbas. Pemerintahan khilafah Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang paling lama mencapai 588 tahun.

Abdullah    bin    Saffah    dalam    membangun memindahkan   pusat  pemerintahan  dari Damaskus   ke Baghdad.  Khalifah  Abasiyyah juga  melestarikan  pola pemerintahan   dan suksesi   pemerintahan seperti kekhalifahan  Ummayah, demikian pula dengan  melakukan perlebaran   kekuasaan.   Khilafah Abbasiyyah   juga memperkenalkan  depatermen  baru yang dikenal  dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak
Hal  yang menarik dalam kekhalifahan  Abbasiyah adalah interprestasi tentang khalifah sebagai: Innama anaa sulthaan Allah fi ardhlihi  (Sesungguhnya  saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Di mana membuka terminologi baru, bahwa kekhalifahan bukanlah  sebagai pengganti  nabi,  bukan  mandat dari manusia  tetapi merupakan mandat dari Alloh. Penafsiran baru ini dilakukan semasa khalifah al-Makmun. Sama dengan pemerintahan sebelumnya, pada masa Abbsiyah pemerintahan juga sangat jauh dari yang dilakukan pada masa rasulullah, pemimpin sering kali berpoya-poya tanpa memikirkan masyarakatnya.

3. Politik Pemerintahan Islam Kontemporer

Pada era kontemporer ini, islam tengah mengalami degradasi sistem pemerintahan dan kepemimpinan. Hingga saat ini ada dua sistem pemerintahan yang mendominasi Negara-negara islam, kerajaan dan republik. Dari kedua sistem pemerintahan ini dan pada prakteknya, keduanya tidak mengacu pada apa yang telah dilakukan Rasulullah pada masanya.   
Share this article :

Post a Comment

Jika ada hal yang membingungkan mengenai postingan di atas dapat anda tanyakan di kotak komentar di bawah ini....

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Sampah Otak - All Rights Reserved